Tembok Berlin Itu Berwujud Neo Nazi dan Kaum Antivaksin
Sudah hampir dua tahun saya menimba ilmu untuk studi S2 saya di kota Dresden, ibukota Jerman Timur. Walaupun saya mengenal banyak teman dari berbagai negara, saya baru memiliki satu teman akrab yang berasal dari Jerman.
Jika ditanya alasannya kenapa, menurut saya mungkin karena karakter penduduk Jerman pada umumnya yang relatif tertutup dan berhati-hati dalam menjaga privasi sehingga butuh waktu dan usaha ekstra untuk membangun hubungan persahabatan.
Lain halnya dengan di Indonesia yang biasanya baru sekali berkenalan pun kita bisa langsung bertukar nomor telepon atau sosial media dengan orang lain. Butuh waktu berhari-hari untuk bisa akrab dengan penduduk asli Jerman. Kalau ingin bertukar kontak, biasanya itu sebatas urusan sekolah atau kerja saja.
Meski tidak banyak interaksi di luar dunia perkuliahan dan pekerjaan, saya melihat bahwa orang-orang muda Jerman cukup ramah dan terbuka dengan pendatang dari luar Jerman.
Kalau di universitas, biasanya kami bertemu di acara kegiatan kampus dan perkumpulan dari berbagai negara. Bahkan, di banyak kampus sudah ada organisasi yang secara reguler mengadakan acara bertema budaya dari berbagai negara sebagai usaha untuk menghargai perbedaan.
Tahun ini merupakan peringatan 60 tahun berdirinya Tembok Berlin. Isu tembok pemisah antara Jerman Timur dan Jerman Barat ini memang sangat sensitif, bahkan hingga sekarang.
Di Dresden sendiri yang berada di wilayah Jerman Timur, "hawa" Neo Nazi, gerakan yang biasanya dikaitkan dengan isu rasial dan segregasi nasionalisme, cukup terasa. Pendukung gerakan ini yang biasanya orang-orang dewasa, banyak yang masih mendukung gerakan "memurnikan Jerman" ini.
Walaupun demikian, sebagian besar kaum mudanya justru menolak bangkitnya gerakan ini dan cukup sering menyuarakan keseragaman status dan hak bagi seluruh masyarakat di Jerman tanpa memandang latar belakang ras dan nasionalisme.
Kaum yang tergabung dalam organisasi garis kanan ekstrem ini berpikir bahwa negara tidak perlu menerima terlalu banyak masyarakat dari negara lain dan menginginkan Jerman tetap menjadi negara yang utuh tanpa terlalu banyak terganggu oleh pengaruh globalisasi dari negara lain.

Salah satu masyarakat yang sering menjadi korban pelanggaran oleh kaum ini adalah para imigran yang berasal dari negara-negara terdampak peperangan.
Mereka sering dicap sebagai orang asing yang menikmati fasilitas negara tanpa perlu membayar pajak, di mana pajak yang jumlahnya tinggi tersebut justru dibayarkan oleh penduduk Jerman.
Walaupun demikian, Jerman telah memiliki program dan peraturan tersendiri untuk membantu para imigran sehingga pada kenyataannya mereka tetap menyumbang kontribusi terhadap negara dan banyak di antaranya merupakan pekerja tetap yang juga membayar pajak.
Saya sendiri belum pernah mengalami kekerasan rasial selama tinggal di Jerman. Segala kejahatan rasial dilarang oleh pemerintah Jerman.
Di sini, kantor polisi membuka layanan untuk pengaduan kasus rasial, baik fisik atau verbal. Informasi perihal ini juga banyak disediakan melalui papan pengumuman di jalan sampai stiker di sarana transportasi umum.
Yang saya tahu, beberapa organisasi juga dibentuk untuk mendengarkan keluhan-keluhan terkait kekerasan rasial dan mereka aktif dalam upaya-upaya menjunjung kesetaraan rasial.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
'Tembok Berlin' Itu Berwujud Neo Nazi dan Kaum Antivaksin BACA HALAMAN BERIKUTNYA
0 Response to "Tembok Berlin Itu Berwujud Neo Nazi dan Kaum Antivaksin"
Post a Comment